Total Tayangan Halaman

Minggu, 31 Maret 2013

arti sebuah perjalanan



Akhir pekan (sabtu) kemarin saya pulang kampung ke Kediri, seperti biasa saya tempuh perjalanan dengan motor. Yang tidak biasa adalah, yang biasanya saya berangkat pagi-pagi atau siang saya harus berangkat menjelang maghrib. Saat maghrib sudah lewat saya masih berada di hutan antara ngantang dan kediri. Subhanallah .... saya perempuan sendirian naik motor di tengah hutan (alay), tapi luar biasa ketika memang kita benar-benar berada di tengah kegelapan yang mencekik. Jalan itu panjang dan berliku, gelap, bahkan ane waktu itu tidak bisa melihat apa-apa selain jangkauan lampu dari motor saya dan alur putih yeng berada di tengah-tengah jalan. 

Allah, di saat seperti itu pastilah pikiran macam-macam mulai muncul. Di tengah kecepatan tinggi karena memnag sudah benar-benar harus segera melewati jalur mencekam tadi, ane sempat berfikir apakah di kubur nanti segelap ini? Saya juga berpikir waktu itu, di tengah-tengah kondisi yang luar biasa membuat saya lumayan gentar saya berkata, di situasi seperti ini siapalagi kalau bukan Allah yang menjadi tempat bergantung. Saya tidak membayangkan kalau waktu itu saya terjatuh, atau ada perampok misal, atau ada hantu (hallah) atau ada apapun yang membuat perjalanan itu berhenti. Allah, dan benar-benar itu jalan yang haaaaaahhhh, luar biasa. Sendiri, gelap menikung, tak terlihat apa-apa, dan benar, siapa yang selalu berada di sisi kita kalau bukan Allah. Selalu Allah yang menjadi teman, allah ada di kiri kanan jalan yang mengintimidasi saya, Allah ada di depan belakang jalan yang menciutkan nyali saya, Allah ada di atas dan di bawah tempat saya menggantungkan semua harapan bahwa allah lah yang akan mengizinkan saya selamat hingga tujuan. Hanya Allah, hanya Allah, dan hanya Allah.
Sempet juga di saat seperti itu saya berpikir, bagaimana ketika saya dijalur ini saya tidak diijinkan bertemu bunda saya lagi, bagaimana? Allah, betapa pikiran itu langsung membungkam nyali saya sebagai seorang aktivis kampus, bagaimana kalau saya tidak diijinkan mencium punggung tangan ibu saya lagi, bagaimana ya llah? Bagaimana? Allah ... betapa saat ketika di tengah-tengah jalur panjang, berbelok-belok, gelap dan kanan kiri jurang, apa lagi yang hamba harapkan selain engkau selalau memberi perlindunganMu yang Allah, apa lagi?  Allah ...
Mungkin secara kasat mata, itu hanya perjalanan fisik antara malang dan Kediri, tapi saya (dan anda juga bisa mencoba) itu mungkin salah satu perjalanan batin, betapa rasa takut itu bergulung-gulung memenuhi ruang batin, takuut, takuuut dan hanya meringkuk. Namun di saat yang bersamaan, rasa harap itu juga tumbuh, rasa bergantung hanya pada Mu ya Rabb, rasa berharap, berharap, dan berharap.
Pasca perjalan saya berpikir dan menganalogkan bahwa jalan panjang nan gelap itu adalah masa hidup kita di dunia. Betapa jalan itu gelap dan mencekat. Kalau kita tidak benar-benar yakin Allah yang ada di dekat kita, ya mungkin saja jalan itu akan terlalui, tapi saya tidak menjamin akan sampai di tujuan dengan selamat atau tidak.
Allah, sering diri ini terlena dengan kenikmatan-Mu, sering dir ini lebih suka tetawa-tawa dari pada mengingat Engkau, sering diri ini berharap kepada makhluk-Mu dan bukan pada Sang Pencipta Makhluk. Betapa lebih sering diri ini lupa untuk bersyukur dari pada mengingat, merenung, muhasabah, atau menyebut dan mengngiat nama-Mu di setiap waktu panjang. Hati ini sering lalai Allah, hamba yang hina biarkan untuk tetap berharap bahwa suatu kelak nanti, Engkau mengijinkan hamba untuk bersua dengan-Mu Ya Rabb.
Allah, jangan biarkan diri ini hidup dalam kesia-siaan. Ijinkan hamba membahagiakan orang tua hamba dan keluarga, terutama Bunda sebelum Engkau memanggil hamba untuk mempertanggungjawabkan semua dosa yang dengan sengaja maupun tidak sengaja hamba lakukan.
Rabbana Atina fiddunnya hasanah wabil akhirati hasanah wakina adzabannar, walhamdulillahirabbilaalamin.

2 komentar:

  1. serius ta ini?
    ane juga ikut berkaca-kaca kalo gitu.
    (padahal nulisnya uda hampir mewek itu)

    BalasHapus